Konflik Peran Ganda Dalam Keluarga Wanita Karier Berjabatan Tinggi

Di era modern kini tidak mustahil bagi wanita karier untuk meraih jenjang setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum perempuan, isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak 1960-an. Sejak berabad-abad yang lalu, khususnya masyarakat tradisional peranan wanita memang selalu identik dengan pekerjaan rumah tangga. Aktifitasnya tak jauh dari dapur dan tempat tidur. Seperti memasak, menghidangkan makanan, mengatur rumah, mengurus anak dan berdandan untuk suami, sehingga tidak ada waktu bagi istri keluar dari rumah untuk bekerja atau acara sosial lainnya.

Isu ini sekarang menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia yang membuat posisi kaum perempuan semakin membaik. Kemudian muncul sebutan suatu komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer disebut dengan wanita karier. Wanita karier mengacu pada sebuah profesi dan karena adanya keterbatasan waktu, tidak mungkin bagi seorang wanita untuk sekaligus menjadi ibu rumah tangga secara maksimum (Hastuti, 2008). Wanita karier memperluas jangkauannya, bukan saja perannya dalam rumah tangga sebagai ibu, tetapi juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan dalam pekerjaan. Dengan wanita menggabungkan peran mereka dalam pekerjaan dan sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga, secara otomatis akan menghadapkan wanita dengan berbagai masalah, seperti adanya peningkatan tanggung jawab yang menyita waktu dan menimbulkan stress secara  fisik serta emosional, perasaan bersalah karena kurang dapat memberikan perhatian dan waktu pada anak atau pekerjaan dan kesempatan karir yang kadang terbatas karena sikap atasan yang meragukan komitmen terhadap keluarga. Namun, hasil studi terbaru dari The Peterson Insitute for International Economics and Ernst & Young (EY) menemukan bahwa dengan lebih banyak wanita di perusahaan akan meningkatkan profit secara signifikan dan menunjukkan bahwa wanita ternyata sangat berpotensi untuk menjadi pemimpin perusahaan sekelas CEO sekalipun. Wanita dapat dipercaya dan diandalkan oleh suatu perushaan tersebut. Semakin tingginya jabatan tersebut maka semakin tersita waktu untuk terus bekerja.

Dengan kesibukan ibu bekerja berakibat adanya dua peran yang harus dijalani yaitu di kantor dan di rumah, maka memicu terbentuknya konflik peran ganda, Frone (dalam Triaryati, 2003) konflik peran ganda adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasa terjadi pada saat ibu yang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarganya dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya. (Triaryati, 2003) mendefinisikan dua jenis work-family conflict, yaitu, Time-based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga maupun pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya, meliputi pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran pekerjaan da rumah tangga. Dalam hal ini menyusun jadwal merupakan hal yang sulit dan waktu terbatas saat tuntutan dan perilaku yang dibutuhkan untuk memerankan keduanya tidak sesuai. Seperti contoh kasus yang terdapat di kompasiana, absennya peran ibu mendampingi anak telah menyebabkan semangat belajar anak menurun yang dikarenakan harus bertugas diluar daerah sebagai seorang pemimpin. Strain-based conflict, mengacu pada munculnya ketegangan atau keadaan emosional yang dihasilkan oleh salah satu peran orang tua membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh: seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Faktor-faktor yang biasanya menjadi sumber persoalan bagi para ibu yang bekerja terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Jacinta, 2007). Pertama adalah faktor internal, pada dasarnya yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi sang ibu tersebut misalnya keadaan menuntutnya untuk bekerja dan membantu kebutuhan rumah tangga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan stress karena keinginannya untuk bekerja tidak timbul dari diri sendiri melainkan karena tidak punya pilihan lain untuk membantu ekonomi keluarga. Selain itu ada pula tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan peran ganda itu sendiri. Hal ini timbul karena kesadaran akan kewajiban untuk menjadi ibu yang baik, sabar, dan bijaksana untuk anak-anaknya, serta menjadi istri yang baik bagi suami. Namun di sisi lain tidak lupa pula bahwa ia tetap harus memiliki komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan pada mereka hingga mereka harus menunjukkan prestasi kerja yang baik. Faktor kedua adalah faktor eksernal, yaitu dukungan suami. Dukungan suami dapat diartikan sebagai sikap-sikap yang ditujukan dalam bentuk kerja sama yang positif dimana suami ikut membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak, serta memberi dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya. Sementara kurangnya dukungan suami juga membuat peran sang ibu tidak optimal dan mengakibatkan timbulnya rasa bersalah karena merasa dirinya bukan ibu dan istri yang baik. Pekerjaan merupakan sumber ketegangan dan stress yang besar bagi wanita karir. Semakin tinggi jabatan dan posisi dalam suatu perusahaan maka semakin sering stress itu bisa muncul. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, atasan yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan di tempat kerja, rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang panjang, atau pun ketidaknyamanan psikologis yang dialami di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat sang ibu kelelahan dan membuat mereka menjadi sensitif dan emosional di rumah terhadap suami dan anak. Hal ini juga dapat di tambah jika kurang dukungan dari anak dan suami untuk bergantian mengurus urusan rumah tangga.

Kesibukan dan konflik peran ganda yang terjadi pada wanita karir tetap bisa di atasi salah satunya dengan membagi akan perannya di rumah sebagai ibu rumah tangga yaitu, wanita yang menjalankan dan mengelola rumah keluarganya, merawat dan mendidik anak-anaknya, memasak dan menyimpan makanan, membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari, membersihkan dan memelihara rumah (Poerwadarminta, 2011). Semenntara perannya di kantor sebagai karyawan maupun pemimpin perusahaan tersebut dapat tetap dijalankan dengan bijaksana penuh tanggung jawab. Untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga pada wanita karir yang terpenting adalah membangun komunikasi yang hangat, membangun sebuah kesepakatan dan jadikan hal tersebut sebagai sebuah komitmen dalam keluarga untuk mendiskusikan prioritas keluarga, serta menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga (Syumanjaya, 2008).

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

 

Banirestu, H. (2010). Dayu Rengganis: Karier dan Rumah Tangga Tak Perlu Dibenturkan. Jakarta.

Hastuti, D. (2008). Hubungan antara Konfik Peran Ganda Wanita Karier dengan Sikap Kerja Negatif. Diakses pada tanggal 21 Maret 2017  dari  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34479/5/Chapter%20I.pdf

Jacinta, F. ( 2007). Stress Kerja. Jakarta.

Poerwadarminta, W. (2011). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

The Peterson Insitute for International Economics and Ernst & Young: World Islamic Banking Competitiveness Report. Diakses pada tanggal 19 Maret 2017 dari https://www.nytimes.com/2016/02/10/business/women-in-company-leadership-tied-to-stronger-profits.html?_r=0

Triaryati. (2003)  Pengaruh adaptasi kebijakan mengenai work family issue terhadap absen dan turnover. Diakses pada tanggal 20 Maret 2017 dari http://eprints.ums.ac.id/30668/15/09.

Syumanjaya, N. (2008) . Pengaruh Penggunaan Media Musik Religi Islami Terhadap Pengamalan Anak. Pekalongan.

 

PERAN PEMIMPIN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

cropped-cropped-logo1_1.png

 

 

 

Peran Pemimpin Dalam Mengambil Keputusan

Manusia secara harfiah adalah khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Dengan dianugerahi akal dan pikiran yang melebihi makhluk lainnya, tuhan memercayakan semua urusan di muka bumi kepada manusia, mengingat derajatnya yang paling tinggi di antara semua makhluk. Tentu saja keberadaanya cukup penting mengingat alam semesta ini perlu dijaga kelestariannya demi kelangsungan hidup makhluk lainnya.

Dengan berjiwa pemimpin kita dapat mengelola diri, lingkungan dan kehidupan sosial lebih baik. Terutama ketika kita mendapatkan masalah yang cukup rumit dan pelik. Disinilah kearifan seorang pemimpin diperhitungkan. Bagaimana ia bisa menyelesaikan persoalan tersebut agar bisa berjalan dengan baik. Karena keberadaannya yang penting dan strategis, maka pemimpin sangat dibutuhkan. Dalam arti pemimpin itu bukan orang yang memiliki gelar dan jabatan yang banyak melainkan orang yang dapat memakmurkan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Hal tersebut kiranya telah difahami bahwa faktor pemimpin dan kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan organisasi (Samino, 2010: 16).

Pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi, guna mendorong kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya, guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Mendefinisikan kepemimpinan “sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan” (Robbins,  2008:49).

Setiap pemimpin mempunyai gaya yang berbeda antara satu dengan lainnya. Definisi gaya kepemimpinan menurut Thoha (2007) adalah norma perilaku yang di gunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut berusaha mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Sedangkan menurut Winardi (2000), gaya kepemimpinan adalah sebuah pendekatan yang di gunakan untuk memahami suksesnya kepemimpinan dalam hubungannya dimana pusat perhatian di tujukan pada yang dilakukan oleh pemimpin.

Lewin, Lippitt, dan White (Dunford, 1995), pada tahun 30-an melakukan studi terkait dengan tingkat keketatan pengendalian, dan melahirkan terminologi gaya kepemimpinan Otokratis, Demokratis dan Laissez-faire.

Kepemimpinan Otokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang tinggi tanpa kebebasan dan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan. Pemimpin bersifat otoriter, tidak bersedia mendelegasikan wewenang dan tidak menyukai partisipasi anggota. Kepemimpinan Demokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang longgar, namun pemimpin sangat aktif dalam menstimulasi diskusi kelompok dan pengambilan keputusan kelompok, kebijakan atau keputusan diambil bersama, komunikasi berlangsung timbal balik dan prakarsa dapat berasal dari pimpinan maupun dari anggota. Kepemimpinan Laissez-faire, menyerahkan atau membiarkan anggota untuk mengambil keputusan sendiri, pemimpin memainkan peran pasif dan hampir tidak ada pengendalian atau pengawasan, sehingga keberhasilan organisasi ditentukan oleh individu atau orang per orang.

Hersey dan Blanchard (Yukl, 1989) mengembangkan teori kepemimpinan yang pada awalnya disebut “life cycle theory of leadership” dan kemudian dinamakan “situational leadership theory”.

Gaya Telling (bercerita) berlaku dalam situasi orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan rendah dan pegawai sangat tidak dewasa, sehingga pemimpin harus memberikan pengarahan dan petunjuk untuk mengerjakan berbagai tugas. Gaya Selling (menjual) berlaku pada orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan juga tinggi, sementara tingkat kedewasaan pegawai cukup. Dalam situasi tersebut, pemimpin memberikan pengarahan secara seimbang dengan memberikan dukungan, meminta dan menghargai masukan dari pegawai. Gaya Participating (Partisipatif), dengan situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan tinggi, serta tingkat kedewasaan pegawai tinggi. Untuk itu pimpinan lebih kolaboratif, ada kedekatan emosional sehingga mengedepankan konsultasi, pembimbingan dan dukungan serta sangat sedikit pengarahan tugas.  Dan gaya Delegating (Delegasi), cocok untuk situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan juga rendah, serta pegawai sangat dewasa.

Pakar lain yang juga mengembangkan teori kepemimpinan kontingensi adalah Fiedler (1967) dan Vroom – Yetton (1973). Fiedler (Dunford, 1995; Sweeney dan McFarlin, 2002) mengukur gaya kepemimpinan berbasis tanggapan pemimpin terhadap karakter pekerjanya, yang dikenal dengan pengukuran skala Least Prefered Coworker (LPC). LPC digunakan untuk mengetahui keyakinan pemimpin bahwa apa yang diharapkan akan benar-benar dapat terjadi, karena memiliki pengendalian situasi (situational control). Pengendalian situasi ditentukan oleh tiga faktor yakni: (1) hubungan pemimpin-bawahan (2) struktur tugas (3) kedudukan kekuasaan. Sehingga gaya kepemimpinan yang efektif bervariasi sejalan dengan derajat pengendalian terhadap situasi. Adapun model Vroom–Yetton berusaha menggambarkan pendekatan kepemimpinan yang memadai untuk mengambil keputusan dalam beragam situasi, sehingga muncul kepemimpinan autocratic, consultative, dan group decision making.

Keputusan terprogam adalah sebuah keputusan berulang dengan cukup sering untuk mengembangkan sebuah aturan keputusan. Aturan keputusan adalah pernyataan yang memberi tahu pengambilan keputusan mengenai alternatif mana yang harus dipilih berdasarkan karakteristik-karakteristik dari situasi keputusan. Selanjutnya ada keputusan tidak terprogam, keputusan tidak terprogam adalah  keputusan yang jarang terulang dan yang tidak ada ketetapan aturan yang di putuskan sebelumnya. Pemecahan masalah adalah sebentuk pengambilan keputusan dimana persoalannya adalah unik dan alternatif-alternatifnya harus di kembangkan dan di evaluasi tanpa bantuan aturan keputusan terprogam.

Para pemimpin dalam menjalankan dan melaksanakan rencana yang di inginkan menerapkan power yang dimiliki dengan tujuan agar tercapai dan berjalannya pekerjaan sesuai dengan rencana. Dalam ruang lingkup organisasi, biasanya terdapat lima jenis kekuasaan, yaitu : kekuasaan sah, kekuasaan balas jasa,  kekuasaan paksaan, kekuatan referen dan kekuasaaan  ahli.

Kekuasaan sah (legimate power) adalah kekuasaan yang di peroleh melalui hierarki organisasi. Kekuasaan balas jasa (reward power) adalah kekuasaan untuk atau menunda balas jasa, seperti peningkatan gaji, bonus, rekomendasi promosi, pujian, pengakuan, penugasan kerja yang menarik. Kekuasaan paksaan (coercive power) adalah kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan dengan memakai ancaman psikologis, emosional atau fisik. Kekuasaan referen (referent power) adalah kekuasaan abstrak, kekuasaan ini didasarkan pada persamaan, peniruan, kesetiaan atau karisma. Dan yang terakhir ada kekuasaan ahli (expert power) adalah kekuasaan pribadi yang didapatkan seseorang berbasis informasi atau memiliki keahlian yang dimilikinya.

Rekrutmen pada hakikatnya merupakan proses menentukan dan menarik pelamar yang mampu untuk bekerja dalam suatu perusahaan. Rekrutmen juga dapat dikatakan sebagai proses untuk mendapatkan sejumlah SDM (sumber daya manusia atau karyawan) yang berkualitas untuk menduduki suatu jabatan atau pekerjaan dalam suatu perusahaan.

Menerima pelamar sebanyak-banyaknya sesuai dengan kualifikasi kebutuhan perusahaan dari berbagai sumber, sehingga memungkinkan akan terjaring calon karyawan dengan kualitas yang tertinggi dari yang terbaik. Seleksi adalah kegiatan dalam manajemen SDM yang dilakukan setelah proses rekrutmen selesai dilaksanakan. Proses seleksi sebagai sarana yang di gunakan dalam memutuskan pelamar mana yang akan di terima.

Beberapa instrumen yang dapat digunakan dalam seleksi, yaitu ada surat-surat rekomendasi, borang lamaran, tes kemampuan. (tes potensi akademik = TPA), tes kepribadian, tes psikologi, wawancara, assesment center, drug test, honesty test, handwriting analysis.

 

Wawancara

Bapak Asep Gunawan.

Pertayaan : sudah berapa lama bapak menjabat sebagai manajer?

Narasumber : selama 15 tahun.

Pertanyaan : kewajiban dan tugas apa saja yang bapak miliki sebagai seorang manajer?

Narasuber : kewajiban dan tugas saya banyak, tugas saya itu menangani pekerjaan sipil, kewajibannya saya memberikan pelayanan atau hospitality kepada pengunjung.

Pertanyaan : bagaimana cara bapak dalam mengambil keputusan?

Narasumber : memberikan wewenang hirarki kepada staff saya, salah satunya menganalisa suatu permasalahan dari diskusi atau rembuk pendapat staff saya dimana sebagai dasar saya mengambil keputusan.

Pertanyaan : bagaimana cara bapak dalam merekrut karyawan baru?

Narasumber : lihat daftar refensinya atau latar belakang calon karyawan. Pengalaman yang di dapat oleh calon tersebut. Motivasi kerja dari hasil wawancara saya dengan dia.

Pertanyaan : bagaimana cara bapak mendelegasikan suatu tanggung jawab?

Narasumber : dari diskusi suatu permasalahan saya akan menganalisa, mengambil referensi-referensi yang ada di lapangan untuk selanjutnya saya meminta atau mendelegasikan kewenangan tersebut ke orang saya atau staff saya.

Pertanyaan : bagaimana cara bapak untuk memotivasi kerja para karyawan?

Narasumber : moto kerja saya, bekerja lah mencari kerja, jangan bekerja mencari uang. Karena bila kita bekerja semata-mata untuk mengeksplorisasi kebisaan atau bakat atau kemampuan, maka pekerjaan tersebut akan bisa kita nikmati atau enjoy, tanpa kita mengeluh, tapi sebaliknya bila kita bekerja mencari uang maka kita akan mendapat kerjaan terus menerus dimana nanti kita akan kecewa dan mengeluh apabila hasil yang di dapat tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan.

Pertanyaan : bagaimana cara bapak membuat suatu rencana kerja?

Narasumber : buat kerangka kerja. 1. Buat batasan pekerjaan. 2. Tentukan target pekerjaan. 3. Buat jadwal atau progam pekerjaan. 4. Buat ceklis daftar progam pekerjaan. 5. Buat review hasil yang telah di kerjakan..

Pertanyaan : bagaimana  cara bapak berkomunikasi dengan staff dan juga atasan bapak?

Narasumber : 1. Secara formal dan informal. 2. Diskusi informal untuk memancing kreatifitas bawahan. 3. Memberikan tantangan-tantangan pekerjaan yang bersifat improvisasi. 4. Memberikan tanggung jawab pekerjaan masing-masing bagian agar bisa belajar mandiri. Komunikasi atasan formal dan informal, memberikan usulan-usulan atau masukan-masukan inovasi dan renovasi unntuk setiap pekerjaan, mengutamakan efisiensi biaya, waktu dan tenaga.

Contoh pemimpin Otokratis :

Soeharto

Soeharto yang memiliki rutinitas memberi komando pada kerbau saat membajak sawah, merupakan awal Soeharto dalam belajar kepemimpinan. Haji Muhammad Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1921. Presiden Indonesia yang kedua ini memulai berkuasa pada tahun 1968, menggantikan presiden RI pertama, Soekarno. Ia terpilih dalam memimpin Negara Republik Indonesia selama hampir tujuh periode berturut-turut, pada tahun 1968, 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998.

Kepemimpinan Soeharto membuat Indonesia dijuluki sebagai macan Asia karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan hubungan baik dengan negara-negara di PBB sehingga membuat Indonesia terangkat dari daftar salah satu negara miskin di dunia, menjadi negara berkembang. Namun selama 32 tahun berkuasa, setelah pada posisi pucuk Presiden Soeharto mulai menunjukkan taringnya. kepemimpinannya dinilai bersifat otoriter, tidak semua orang bisa mengkritisi pola kepemimpinannya.

Contoh pemimpin Demokratis :

Presiden John F. Kennedy

John Fitzgerald Kennedy adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-35. Pada 1960, ia menjadi president  Amerika Serikat kedua yang termuda setelah Theodore Roosevelt. Kennedy menjadi presiden setelah dilantik pada 20 Januari 1961. Jabatan kepresidennya terhenti setelah terjadi pembunuhan terhadap dirinya pada 1963. Ia tewas oleh terjangan peluru saat melakukan kunjungan ke Dallas (Texas) pada 22 November 1963.

Presiden John F. Kennedy adalah pemimpin demokratis yang terkenal. Seseorang tidak salah ketika mengatakan Presiden Kennedy adalah seorang demokrat dan tentunya ia akan dikenang sebagai seorang pemimpin besar. Ia adalah salah satu pemimpin demokratis yang terkenal. Selain seorang pemimpin yang demokratis, John F.Kenedy juga pemimpin paling karismatik di Amerika Serikat. John F. Kennedy berasal dari keluarga yang kuat dan diberkati dengan penampilan yang baik di samping kharisma pribadinya.

Kepemimpinan JFK memang terlihat sejak Perang Dunia ke 2 sebagai seorang Letnan memimpin sebuah kapal torpedo (Torpedo Patrol Boat) PT 109 di Samudera Pacific yang saat itu diserang oleh tentara Jepang dan kapalnya  tenggelam. John yang terluka parah pada bagian punggungnya masih mampu memotivasi anak buahnya untuk menyelamatkan dirinya bahkan meminta bantuan. Tindakan kepahlawanannya membawanya mendapatkan penghargaan dari Angkatan Laut dan Marinir AS.

Contoh pemimpin Laizzes Faire :

George Herbert Walker Bush

George Herbert Walker Bush (lahir 12 Juni 1924) adalah seorang politikus Amerika yang menjabat sebagai 41 Presiden Amerika Serikat (1989-1993). Dia sebelumnya menjabat sebagai ke-43 Wakil Presiden Amerika Serikat (1981-1989), seorang anggota Kongres, duta besar, dan Direktur Central Intelligence.

Ia menjadi terlibat dalam politik segera setelah mendirikan perusahaan minyak sendiri, dan melayani sebagai anggota DPR. Dia gagal sebagai presiden Amerika Serikat pada 1980 , tetapi dipilih oleh calon partai Ronald Reagan menjadi calon wakil presiden, dan mereka berdua kemudian terpilih. Selama masa jabatannya, Bush dipimpin pasukan administrasi tugas pada deregulasi dan penyalahgunaan narkoba pertempuran.

 

 

Kesimpulan

Kepemimpinan yang efektif harus memberikan pengarahan terhadap usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Tanpa kepemimpinan atau bimbingan, hubungan antara tujuan perseorangan dan tujuan organisasi mungkin menjadi renggang (lemah). Keadaan ini menimbulkan situasi dimana perseorangan bekerja untuk mencapai tujuan pribadinya, sementara itu keseleruhan organisasi menjadi tidak efisien, dalam pencapaian sasarannya

Dari beberapa gaya kepemimpinan yang telah disebutkan di atas akan mempunyai tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal dari luar individu pemimpin tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR REFERENSI

 

Aamodt, M.G. (2010). Industrial/Organizational Psychology. (6th ed).Wadsworth: Cengage

Learning

 

Fahmi, I. (2013). Perilaku Organisasi Teori, Aplikasi, dan Kasus. Bandung: Alfabeta.

 

Rivai, V., Sagala, E. J, (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan : Dari

Teori ke Praktik. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.

 

Robbins, P. S. & Judge, T. A. (2010). Organizational Behavior. (14th ed). New Jersey : Pearson

Education, Inc., publishing as Prentince Hall.

 

Taliziduhu, N (2005). Teori Budaya Organisasi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 

Wibowo. U. B. (2011). Teori Kepemimpinan. Di Akses dari

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/C%20201113%20Teori%20Kepemimpinan.pdf

 

Jatmiko. (2013). Pemimpin dan Kepemimpinan Organisasi. Di Akses dari

http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-3514-Jatmiko.pdf

 

Mohtar. D. (2005). Pembangun Kepimpinan dalam Organisasi. Di Akses dari

http://www.myjurnal.my/filebank/published_article/24185/Article__1.PDF