Di era modern kini tidak mustahil bagi wanita karier untuk meraih jenjang setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum perempuan, isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak 1960-an. Sejak berabad-abad yang lalu, khususnya masyarakat tradisional peranan wanita memang selalu identik dengan pekerjaan rumah tangga. Aktifitasnya tak jauh dari dapur dan tempat tidur. Seperti memasak, menghidangkan makanan, mengatur rumah, mengurus anak dan berdandan untuk suami, sehingga tidak ada waktu bagi istri keluar dari rumah untuk bekerja atau acara sosial lainnya.
Isu ini sekarang menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia yang membuat posisi kaum perempuan semakin membaik. Kemudian muncul sebutan suatu komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer disebut dengan wanita karier. Wanita karier mengacu pada sebuah profesi dan karena adanya keterbatasan waktu, tidak mungkin bagi seorang wanita untuk sekaligus menjadi ibu rumah tangga secara maksimum (Hastuti, 2008). Wanita karier memperluas jangkauannya, bukan saja perannya dalam rumah tangga sebagai ibu, tetapi juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan dalam pekerjaan. Dengan wanita menggabungkan peran mereka dalam pekerjaan dan sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga, secara otomatis akan menghadapkan wanita dengan berbagai masalah, seperti adanya peningkatan tanggung jawab yang menyita waktu dan menimbulkan stress secara fisik serta emosional, perasaan bersalah karena kurang dapat memberikan perhatian dan waktu pada anak atau pekerjaan dan kesempatan karir yang kadang terbatas karena sikap atasan yang meragukan komitmen terhadap keluarga. Namun, hasil studi terbaru dari The Peterson Insitute for International Economics and Ernst & Young (EY) menemukan bahwa dengan lebih banyak wanita di perusahaan akan meningkatkan profit secara signifikan dan menunjukkan bahwa wanita ternyata sangat berpotensi untuk menjadi pemimpin perusahaan sekelas CEO sekalipun. Wanita dapat dipercaya dan diandalkan oleh suatu perushaan tersebut. Semakin tingginya jabatan tersebut maka semakin tersita waktu untuk terus bekerja.
Dengan kesibukan ibu bekerja berakibat adanya dua peran yang harus dijalani yaitu di kantor dan di rumah, maka memicu terbentuknya konflik peran ganda, Frone (dalam Triaryati, 2003) konflik peran ganda adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasa terjadi pada saat ibu yang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarganya dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya. (Triaryati, 2003) mendefinisikan dua jenis work-family conflict, yaitu, Time-based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga maupun pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya, meliputi pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran pekerjaan da rumah tangga. Dalam hal ini menyusun jadwal merupakan hal yang sulit dan waktu terbatas saat tuntutan dan perilaku yang dibutuhkan untuk memerankan keduanya tidak sesuai. Seperti contoh kasus yang terdapat di kompasiana, absennya peran ibu mendampingi anak telah menyebabkan semangat belajar anak menurun yang dikarenakan harus bertugas diluar daerah sebagai seorang pemimpin. Strain-based conflict, mengacu pada munculnya ketegangan atau keadaan emosional yang dihasilkan oleh salah satu peran orang tua membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh: seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Faktor-faktor yang biasanya menjadi sumber persoalan bagi para ibu yang bekerja terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Jacinta, 2007). Pertama adalah faktor internal, pada dasarnya yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi sang ibu tersebut misalnya keadaan menuntutnya untuk bekerja dan membantu kebutuhan rumah tangga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan stress karena keinginannya untuk bekerja tidak timbul dari diri sendiri melainkan karena tidak punya pilihan lain untuk membantu ekonomi keluarga. Selain itu ada pula tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan peran ganda itu sendiri. Hal ini timbul karena kesadaran akan kewajiban untuk menjadi ibu yang baik, sabar, dan bijaksana untuk anak-anaknya, serta menjadi istri yang baik bagi suami. Namun di sisi lain tidak lupa pula bahwa ia tetap harus memiliki komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan pada mereka hingga mereka harus menunjukkan prestasi kerja yang baik. Faktor kedua adalah faktor eksernal, yaitu dukungan suami. Dukungan suami dapat diartikan sebagai sikap-sikap yang ditujukan dalam bentuk kerja sama yang positif dimana suami ikut membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak, serta memberi dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya. Sementara kurangnya dukungan suami juga membuat peran sang ibu tidak optimal dan mengakibatkan timbulnya rasa bersalah karena merasa dirinya bukan ibu dan istri yang baik. Pekerjaan merupakan sumber ketegangan dan stress yang besar bagi wanita karir. Semakin tinggi jabatan dan posisi dalam suatu perusahaan maka semakin sering stress itu bisa muncul. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, atasan yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan di tempat kerja, rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang panjang, atau pun ketidaknyamanan psikologis yang dialami di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat sang ibu kelelahan dan membuat mereka menjadi sensitif dan emosional di rumah terhadap suami dan anak. Hal ini juga dapat di tambah jika kurang dukungan dari anak dan suami untuk bergantian mengurus urusan rumah tangga.
Kesibukan dan konflik peran ganda yang terjadi pada wanita karir tetap bisa di atasi salah satunya dengan membagi akan perannya di rumah sebagai ibu rumah tangga yaitu, wanita yang menjalankan dan mengelola rumah keluarganya, merawat dan mendidik anak-anaknya, memasak dan menyimpan makanan, membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari, membersihkan dan memelihara rumah (Poerwadarminta, 2011). Semenntara perannya di kantor sebagai karyawan maupun pemimpin perusahaan tersebut dapat tetap dijalankan dengan bijaksana penuh tanggung jawab. Untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga pada wanita karir yang terpenting adalah membangun komunikasi yang hangat, membangun sebuah kesepakatan dan jadikan hal tersebut sebagai sebuah komitmen dalam keluarga untuk mendiskusikan prioritas keluarga, serta menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga (Syumanjaya, 2008).
.
Daftar pustaka
Banirestu, H. (2010). Dayu Rengganis: Karier dan Rumah Tangga Tak Perlu Dibenturkan. Jakarta.
Hastuti, D. (2008). Hubungan antara Konfik Peran Ganda Wanita Karier dengan Sikap Kerja Negatif. Diakses pada tanggal 21 Maret 2017 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34479/5/Chapter%20I.pdf
Jacinta, F. ( 2007). Stress Kerja. Jakarta.
Poerwadarminta, W. (2011). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
The Peterson Insitute for International Economics and Ernst & Young: World Islamic Banking Competitiveness Report. Diakses pada tanggal 19 Maret 2017 dari https://www.nytimes.com/2016/02/10/business/women-in-company-leadership-tied-to-stronger-profits.html?_r=0
Triaryati. (2003) Pengaruh adaptasi kebijakan mengenai work family issue terhadap absen dan turnover. Diakses pada tanggal 20 Maret 2017 dari http://eprints.ums.ac.id/30668/15/09.
Syumanjaya, N. (2008) . Pengaruh Penggunaan Media Musik Religi Islami Terhadap Pengamalan Anak. Pekalongan.