Stress akibat Tuntutan Pekerjaan dan Dampaknya.

     Kehidupan sehari-hari individu tidak selamanya berjalan dengan baik pasti ada peristiwa yang menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan tekanan. Tidak jarang hal tersebut membuat seorang individu mengalami stress. Hans Selye (dalam Kalat, 2009) mendefinisikan stress sebagai respon tubuh yang tidak spesifik untuk setiap tuntutan yang ada. Respon tersebut dapat berupa kesulitan konsentrasi, mudah marah,  merasa lelah dan lesu, dan lebih mudah jatuh sakit. Sedangkan, peristiwa atau situasi yang penuh dengan tekanan disebut Stressor (Wade & Tavris, 2008). Masalah pekerjaan, kemacetan, kecelakaan, konflik dengan teman semuanya dapat menjadi stressor dalam kehidupan individu.

    Hal yang menarik dari penyebab stress dalam kehidupan individu yaitu masalah pekerjaan. Masalah-masalah yang timbul dalam suatu pekerjaan tentunya sudah sering terjadi seperti konflik dengan sesama teman kerja, konflik dengan atasan, tuntutan pekerjaan yang tinggi dan lain sebagainya.  Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan Cooper (dalam Nugrahini, 2014) yang menunjukkan bahwa stres kerja banyak terjadi pada individu dengan latar belakang dibidang pelayanan, yaitu orang-orang yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan dan berkaitan erat dengan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, dapat tercermin dari tugas-tugas yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Tugas dari anggota kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

      Jika dilihat dari tugasnya, anggota kepolisian memiliki tugas dengan resiko bahaya yang tinggi dan juga beban dan tuntutan yang tinggi pula. Menjaga keamanan dan ketertiban merupakan hal yang tidak mudah dilakukan terlebih lagi semakin bertambahnya masyarakat. Selain itu, tidak sedikit pula tindak kriminal yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut merupakan tugas kepolisian untuk menangkap perilaku kriminal dan melindungi korban dari tindak kriminal tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut tidak jarang polisi memiliki tugas dengan target yang cukup berat. Dapat dibayangkan beban dan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh seorang anggota kepolisian. Setiap harinya, mereka harus siap secara fiisk maupun psikologis. Hal ini sesuai dengan salah satu penyebab stress yaitu job demands. Job demands adalah aspek dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik atau psikologis yang berkelanjutan (McShane&VonGlinow, 2010). Salah satu contoh job demands yaitu beban pekerjaan yang berlebihan.

    Hal di atas dibenarkan oleh anggota Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polres Tangerang Selatan mengenai hal apa yang sering menimbulkan stress pada anggota kepolisian. Berdasarkan wawancara yang saya lakukan, ia memaparkan bahwa hal yang paling menimbulkan stress yaitu tugas yang diberikan. “Terkadang satu orang anggota polisi tidak hanya mengani satu kasus bahkan ada yang mencapai 20 kasus mungkin juga bisa lebih” ungkapnya. Cordes dan Dougherty (dalam Aamodt, 2010) mengemukakan tedapat tiga karakteristik pekerjaan yang dapat menyebabkan stress. Pertama, Role Conflict yang muncul ketika harapan individu terhadap pekerjaan dan apa yang individu pikirkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Kedua, Role Ambiguity  yang muncul ketika tugas pekerjaan individu dan tindakan yang diharapkan tidak dijelaskan dengan jelas. Ketiga, Role Overload yang muncul ketika individu merasa tidak cukup kemampuan atau sumber-sumber di tempat kerja untuk menyelesaikan pekerjaan atau mempersepsikan bahwa tugas tidak dapat selesai pada waktu yang ditentukan. Jika dilihat dari kasus anggota kepolisian yang telah dijelaskan di atas, karakteristik pekerjaan yang menimbulkan stress yaitu role overload. Karena, ia juga menambahkan “Dalam satu bulan, kita sebagai penyidik harus melaporkan semua kasus tersebut sudah diproses sampai sejauh mana, dan terkadang kasus yang sedang ditangani pelakunya tidak ada atau masih buron”.

    Hal di atas juga sesuai dengan sumber stress yang dikemukakan oleh Cary Cooper (dalam Azzaniar, 2010) yaitu Work overload  atau beban kerja yang berlebihan yang biasanya terbagi dua, yaitu quantitative dan qualitative overload. Quantitative overload adalah ketika kerja fisik pegawai melebihi kemampuannya. Hal ini disebabkan karena pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekrejaan yang harus dilakukan oleh pegawai terlalu sulit dan kompleks. Kedua hal ini sesuai dengan tugas yang harus dilakukan anggota polisi yang telah digambarkan di atas.

     Cooper & Davison (dalam Ambasari, 2011) juga membagi penyebab stress pada pekerjaan menjadi dua, yaitu Group Stressor dan Individual Stressor. Group Stressor adalah penyebab stress yang berasal dari situasi maupun dari keadaan di dalam perusahaan. Sedangkan, Individual Stressor adalah penyebab stress yang berasal dari dalam diri individu. Berdasarkan wawancara yang saya lakukan, penyebab stress pada anggota kepolisian ini yaitu group stressor. Karena, ia mengatakan bahwa terkadang banyak pelaku kejahatan atau kriminal yang memiliki kerabat atau saudara di kepolisian yang memiliki pangkat lebih tinggi dari dirinya. Hal ini menyulitkan proses penanganan kasus dan menambah beban polisi itu sendiri. Ia harus melaporkan sejauh mana kasus tersebut di proses namun disisi lain ada tuntutan yang menghambat kasus tersebut diproses. Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah digambarkan tersebut, dapat dikatakan bahwa pekerjaan polisi memiliki tingkat stress yang tinggi.

    Stress dalam pekerjaan dapat memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan dari kehidupan individu terutama keluarga. Seperti kasus pada tahun 2016 yang dikutip oleh Kompas, anggota Brimob (Brigade Mobil) Polda Metro Jaya, Brigadir ACK yang menembak mati istrinya yang kemudian pelaku melakukan upaya bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane (dalam Arisona, 2015) mengemukakan bahwa fenomena anggota kepolisian yang mengalami stress dan berakibat penyalahgunaan senjata api adalah akibat tekanan berat dalam pekerjaan. Stress kerja yang dialami oleh anggota kepolisian ternyata dapat berdampak sangat fatal baik bagi keluarga maupun bagi dirinya sendiri. Melihat fenomena tersebut, kriminolog Adrianus Meliala yang dikutip dari okezon.com mendorong agar setiap pimpinan di kepolisian mengetahui gejala kondisi psikologis anak buah masing-masing untuk menghindari berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri. Akan tetapi, hal tersebut dihambat oleh keterbatasan dana jika secara kondisi psikologis anggota Polri harus di cek secara berkala.

        Selain berdampak pada psikologis seseorang, stress yang berkepanjangan juga dapat berdampak pada kesehatan orang tersebut. Hans Selye mengemukakan bahwa efek stress yang paling berbahaya dihasilkan dari sekresi yang berkepanjangan dari glucocorticoids (Carlson, 2010). Walaupun efek jangka pendek dari glucocorticoids ini penting, akan tetapi jika terlalu banyak akan berbahaya. Efeknya yaitu dapat meningkatkan tekanan darah, merusak jaringan otot, diabetes, dan penurunan sistem kekebalan tubuh.

            Berikut ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat stress yang dialami. Hal yang pertama yang dapat dilakukan yaitu mendinginkan kepala. Cara yang paling cepat untuk mengatasi tekanan fisiologis dari stress adalah dengan menenangkan diri dan mengurangi rangsangan fisik tubuh melalui meditasi atau relaksasi (Wade&Tavris, 2008). Meditasi atau relaksasi ini dapat menurunkan tekanan darah dan hormone stress juga dapat mengembangkan tekanan emosional. Hal kedua yang dapat dilakukan yaitu dengan mendapatkan dukungan sosial, seperti keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Karena, kesehatan kita tidak hanya pada apa yang terjadi di dalam tubuh dan pikiran kita, tetapi tergantung pada apa yang terjadi di dalam hubungan kita dengan orang lain (Wade&Tavris, 2008). Jadi, cobalah untuk mengatasi stress yang anda alami untuk mencegah dari dampak-dampak yang dihasilkan dari stress.

Daftar Referensi

Aamodt, M.G. (2010). Industrial/Organizational Psychology.  6th Ed. Belmont: Wadsworth                  Cengage Learning

Ambarsari, R. (2011). Sumber-Sumber Stres Kerja yang Mempengaruhi Kinerja Salesman PT.                   Enseval Putera Megatrading Tbk Cang Jakarta II. Diakses pada tanggal 14 Maret 2017 dari

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2989/1/RETNO%20AMBARSARI-FPS.PDF

Arisona, A.A. (2015). Perbedaan Tingkat Stres kerja antara Anggota Polri Fungsi Reserse dengan Satlantas di Salatiga. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017 dari

http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8720/2/T1_802008607_Full%20text.pdf

Azzaniar, Q. (2010). Hubungan antara Prokastinasi dan Stres Kerja pada Pegawai Negeri Sipil. Diakses pada tanggal 14 Maret 2017 dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20617/3/Chapter%20II.pdf

Carlson, N.R. (2010). Physiology of Behavior. 10th  Ed. Boston: Pearson International Edition

Kalat, J.W. (2009). Biological Psychology. 10th Ed. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

McShane, S.L., dan Von Glinow, M.A.  (2010). Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for The Real World. 5th Ed. New York: McGraw-Hill

Nugrahini, L. (2014). Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja pada Anggota Polisi di Polresta Surakarta. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017 dari

http://eprints.ums.ac.id/37720/2/04%20BAB%20%20I.pdf

Virdhani, M. H. (2016). Kriminolog: Tingkat Stres Profesi Polisi Tinggi. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017 dari

http://news.okezone.com/read/2016/04/02/338/1351961/kriminolog-tingkat-stres-profesi-polisi-tinggi

Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi. 9th Ed. Jakarta: Erlangga